Bab 2. Taubat
Para alim-ulama berkata: "Mengerjakan taubat itu hukumnya wajib dari segala macam dosa. Jikalau kemaksiatan itu terjadi antara seorang hamba dan antara Allah Ta'ala saja, yakni tidak ada hubungannya dengan hak seorang manusia yang lain, maka untuk bertaubat itu harus menetapi tiga macam syarat, yaitu: Pertama hendaklah menghentikan sama sekali -seketika itu juga- dari kemaksiatan yang dilakukan, kedua ialah supaya merasa menyesal karena telah melakukan kemaksiatan tadi dan ketiga supaya berniat tidak akan kembali mengulangi perbuatan maksiat itu untuk selama-lamanya. Jikalau salah satu dari tiga syarat tersebut di atas itu ada yang ketinggalan maka tidak sahlah taubatnya. Apabila kemaksiatan itu ada hubungannya dengan sesama manusia, maka syarat-syaratnya itu ada empat macam, yaitu tiga syarat yang tersebut di atas dan keempatnya ialah supaya melepaskan tanggungan itu dari hak kawannya. Maka jikalau tanggungan itu berupa harta atau yang semisal dengan itu, maka wajiblah mengembalikannya kepada yang berhak tadi, jikalau berupa dakwaan zina atau yang semisal dengan itu, maka hendaklah mencabut dakwaan tadi dari orang yang didakwakan atau meminta saja pengampunan daripada kawannya dan jikalau merupakan pengumpatan, maka hendaklah meminta penghalalan yakni pemaafan dari umpatannya itu kepada orang yang diumpat olehnya. Seseorang itu wajiblah bertaubat dari segala macam dosa, tetapi jikalau seseorang itu bertaubat dari sebagian dosanya, maka taubatnya itupun sah dari dosa yang dimaksudkan itu, demikian pendapat para alim-ulama yang termasuk golongan ahlul haq, namun saja dosa-dosa yang lain-lainnya masih tetap ada dan tertinggal - yakni belum lagi ditaubati. Sudah jelaslah dalil-dalil yang tercantum dalam Kitabullah, Sunnah Rasulullah s.a.w. serta ijma' seluruh umat perihal wajibnya mengerjakan taubat itu.
Allah Ta'ala berfirman: "Dan bertaubatlah engkau semua kepada Allah, hai sekalian orang Mu'min, supaya engkau semua memperoleh kebahagiaan." (an-Nur: 31)
Allah Ta'ala berfirman lagi: "Mohon ampunlah kepada Tuhanmu semua dan bertaubatlah kepadaNya." (Hud: 3)
Dan lagi firmanNya: "Hai sekalian orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubat yang nashuha -yakni yang sebenar-benarnya." (at-Tahrim: 8)
Keterangan:
Taubat nashuha itu wajib dilakukan dengan memenuhi tiga macam syarat sebagaimana di bawah ini, yaitu:
1. Semua hal-hal yang mengakibatkan terkena siksa, karena berupa perbuatan dosa jika dikerjakan, wajib ditinggalkan secara sekaligus dan tidak diulangi lagi.
2. Bertekad bulat dan teguh untuk memurnikan serta membersihkan diri sendiri dari semua perkara dosa tadi tanpa bimbang dan ragu-ragu.
3. Segala perbuatannya jangan dicampuri apa-apa yang mungkin dapat mengotori atau sebab-sebab yang menjurus ke arah dapat merusakkan taubatnya itu.
13. Dari Abu Hurairah r.a. berkata: Saya mendengar Rasulullah s.a.w. bersabda: "Demi Allah, sesungguhnya saya itu memohonkan pengampunan kepada Allah serta bertaubat kepadaNya dalam sehari lebih dari tujuh puluh kali." (Riwayat Bukhari)
14. Dari Aghar bin Yasar al-Muzani r.a. katanya: Rasulullah s.a.w. bersabda: "Hai sekalian manusia, bertaubatlah kepada Allah dan mohonlah pengampunan daripadaNya, karena sesungguhnya saya ini bertaubat dalam sehari seratus kali." (Riwayat Muslim)
15. Dari Abu Hamzah yaitu Anas bin Malik al-Anshari r.a., pelayan Rasulullah s.a.w., katanya: Rasulullah s.a.w. bersabda: "Sesungguhnya Allah itu lebih gembira dengan taubat hambaNya daripada gembiranya seorang dari engkau semua yang jatuh di atas untanya dan oleh Allah ia disesatkan di suatu tanah yang luas." (Muttafaq 'alaih)
Dalam riwayat Muslim disebutkan demikian: "Sesungguhnya Allah itu lebih gembira dengan taubat hambaNya ketika ia bertaubat kepadaNya daripada gembiranya seorang dari engkau semua yang berada di atas kendaraannya -yang dimaksud ialah untanya- dan berada di suatu tanah yang luas, kemudian kehilangan kendaraannya itu dari dirinya, sedangkan di situ ada makanan dan minumannya. Orang tadi lalu berputus-asa. Kemudian ia mendatangi sebuah pohon terus tidur berbaring di bawah naungannya, sedang hatinya sudah berputus-asa sama sekali dari kendaraannya tersebut. Tiba-tiba di kala ia berkeadaan sebagaimana di atas itu, kendaraannya itu tampak berdiri di sisinya, lalu ia mengambil ikatnya. Oleh sebab sangat gembiranya maka ia berkata: "Ya Allah, Engkau adalah hambaku dan aku adalah TuhanMu". Ia menjadi salah ucapannya karena amat gembiranya."
Keterangan:
Jadi kegembiraan Allah Ta'ala di kala mengetahui ada hambaNya yang bertaubat itu adalah lebih sangat dari kegembiraan orang yang tersebut dalam cerita di atas itu.
16. Dari Abu Musa Abdullah bin Qais al-Asy'ari r.a., dari Nabi s.a.w., sabdanya: "Sesungguhnya Allah Ta'ala itu membeberkan tanganNya -yakni kerahmatanNya- di waktu malam untuk menerima taubatnya orang yang berbuat kesalahan di waktu siang dan juga membeberkan tanganNya di waktu siang untuk menerima taubatnya orang yang berbuat kesalahan di waktu malam. Demikian ini terus menerus sampai terbitnya matahari dari arah barat -yakni di saat hampir tibanya hari kiamat, karena setelah ini terjadi, tidak diterima lagi taubatnya seorang." (Riwayat Muslim)
17. Dari Abu Hurairah r.a., katanya: Rasulullah s.a.w. bersabda: "Barangsiapa bertaubat sebelum matahari terbit dari arah barat, maka Allah menerima taubatnya orang itu." (Riwayat Muslim)
Keterangan:
Uraian dalam hadits di atas sesuai dengan firman Allah dalam al-Quran al-Karim, surat Nisa', ayat 18 yang berbunyi: "Taubat itu tidaklah diterima bagi orang-orang yang mengerjakan kejahatan, sehingga di kala salah seorang dari mereka itu telah didatangi kematian -sudah dekat ajalnya dan ruhnya sudah di kerongkongan- tiba-tiba ia mengatakan: "Aku sekarang bertaubat."
18. Dari Abu Abdur Rahman yaitu Abdullah bin Umar bin al-Khaththab radhiallahu 'anhuma dari Nabi s.a.w., sabdanya: "Sesungguhnya Allah 'Azzawajalla itu menerima taubatnya seorang hamba selama ruhnya belum sampai di kerongkongannya -yakni ketika akan meninggal dunia." Diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi dan ia mengatakan bahwa ini adalah hadits hasan.
19. Dari Zir bin Hubaisy, katanya: "Saya mendatangi Shafwan bin 'Assal r.a. perlu menanyakan soal mengusap dua buah sepatu khuf (but). Shafwan berkata: "Apakah yang menyebabkan engkau datang ini, hai Zir?" Saya menjawab: "karena ingin mencari ilmu pengetahuan." Ia berkata lagi: "Sesungguhnya para malaikat itu sama meletakkan sayap-sayapnya -yakni berhenti terbang dan ingin pula mendengarkan ilmu atau karena tunduk menghormat- kepada orang yang menuntut ilmu, karena ridha dengan apa yang dicarinya." Saya berkata: "Sebenarnya saya sudah tergerak dalam hatiku akan mengusap di atas dua buah sepatu khuf itu sehabis buang air besar atau kecil. Engkau adalah termasuk salah seorang sahabat Nabi s.a.w., maka dari itu saya datang ini untuk menanyakannya kepadamu. Apakah engkau pernah mendengar beliau s.a.w. menyebutkan persoalan mengusap sepatu khuf itu daripadanya?" Shafwan menjawab: "Ya pernah. Rasulullah s.a.w. menyuruh kita semua, jikalau kita sedang dalam bepergian, supaya kita jangan melepaskan sepatu khuf kita selama tiga hari dengan malamnya sekali, kecuali jikalau kita terkena janabah, tetapi kalau hanya karena membuang air besar atau kecil atau karena sehabis tidur, tidak perlu dilepaskan." Saya berkata lagi: "Apakah engkau pernah mendengar beliau s.a.w. menyebutkan persoalan cinta?" Dia menjawab: "Ya pernah. Pada suatu ketika kita bersama dengan Rasulullah s.a.w. dalam bepergian. Di kala kita berada di sisinya itu, tiba-tiba ada seorang a'rab (orang Arab dari pegunungan) memanggil beliau itu dengan suara yang keras sekali, katanya: "Hai Muhammad." Rasulullah s.a.w. menjawabnya dengan suara yang sekeras suaranya itu pula: "Mari kemari". Saya berkata pada orang a'rab tadi: "Celaka engkau ini, perlahankanlah suaramu, sebab engkau ini benar-benar ada di sisi Nabi s.a.w., sedangkan aku dilarang semacam ini -yakni bersuara keras-keras di hadapannya-." Orang a'rab itu berkata: "Demi Allah, saya tidak akan memperlahankan suaraku." Kemudian ia berkata kepada Nabi s.a.w.: "Ada orang mencintai sesuatu golongan, tetapi ia tidak dapat menyamai mereka -dalam hal amal perbuatannya serta cara mencari kesempurnaan kehidupan dunia dan akhiratnya." Nabi s.a.w. menjawab: "Seseorang itu dapat menyertai orang yang dicintai olehnya besok pada hari kiamat." Tidak henti-hentinya beliau memberitahukan apa saja kepada kita, sehingga akhirnya menyebutkan bahwa di arah barat itu ada sebuah pintu yang perjalanan luasnya yakni sekiranya seorang yang berkendaraan berjalan hendak menempuh jarak luasnya itu, maka jarak antara dua ujung pintu tadi adalah sejauh empat puluh atau tujuh puluh tahun." Salah seorang yang meriwayatkan hadits ini yaitu Sufyan mengatakan: "Di arah Syam pintu itu dijadikan oleh Allah Ta'ala sejak hari Dia menciptakan semua langit dan bumi, senantiasa terbuka untuk taubat, tidak pernah ditutup sehingga terbitlah matahari dari sebelah barat yakni dari dalam pintu tadi." Diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi dan lain-lainnya dan Imam Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini adalah hasan shahih.
20. Dari Abu Said, yaitu Sa'ad bin Sinan al-Khudri r.a. bahwasanya Nabiyullah s.a.w. bersabda: "Ada seorang lelaki dari golongan umat yang sebelummu telah membunuh sembilan puluh sembilan manusia, kemudian ia menanyakan tentang orang yang teralim dari penduduk bumi, lalu ia ditunjukkan pada seorang pendeta. Iapun mendatanginya dan selanjutnya berkata bahwa sesungguhnya ia telah membunuh sembilan puluh sembilan manusia, apakah masih diterima untuk bertaubat. Pendeta itu menjawab: "Tidak dapat." Kemudian pendeta itu dibunuhnya sekali dan dengan demikian ia telah menyempurnakan jumlah seratus dengan ditambah seorang lagi itu. Lalu ia bertanya lagi tentang orang yang teralim dari penduduk bumi, kemudian ditunjukkan pada seorang yang alim, selanjutnya ia mengatakan bahwa sesungguhnya ia telah membunuh seratus manusia, apakah masih diterima taubatnya. Orang alim itu menjawab: "Ya, masih dapat. Siapa yang dapat menghalang-halangi antara dirinya dengan taubat itu. Pergilah engkau ke tanah begini-begini, sebab di situ ada beberapa kelompok manusia yang sama menyembah Allah Ta'ala, maka menyembahlah engkau kepada Allah itu bersama-sama dengan mereka dan janganlah engkau kembali ke tanahmu sendiri, sebab tanahmu adalah negeri yang buruk." Orang itu terus pergi sehingga di waktu ia telah sampai separuh perjalanan, tiba-tiba ia didatangi oleh kematian. Kemudian bertengkarlah untuk mempersoalkan diri orang tadi malaikat kerahmatan dan malaikat siksaan -yakni yang bertugas memberikan kerahmatan dan bertugas memberikan siksa-, malaikat kerahmatan berkata: "Orang ini telah datang untuk bertaubat sambil menghadapkan hatinya kepada Allah Ta'ala." Malaikat siksaan berkata: "Bahwasanya orang ini sama sekali belum pernah melakukan kebaikan sedikitpun." Selanjutnya ada seorang malaikat yang mendatangi mereka dalam bentuk seorang manusia, lalu ia dijadikan sebagai pemisah antara malaikat-malaikat yang berselisih tadi, yakni dijadikan hakim pemutusnya -untuk menetapkan mana yang benar. Ia berkata: "Ukurlah olehmu semua antara dua tempat di bumi itu, ke mana ia lebih dekat letaknya, maka orang ini adalah untuknya- maksudnya jikalau lebih dekat ke arah bumi yang dituju untuk melaksanakan taubatnya, maka ia adalah milik malaikat kerahmatan dan jikalau lebih dekat dengan bumi asalnya maka ia adalah milik malaikat siksaan." Malaikat-malaikat itu mengukur, kemudian didapatinya bahwa orang tersebut adalah lebih dekat kepada bumi yang dikehendaki -yakni yang dituju untuk melaksanakan taubatnya. Oleh sebab itu maka ia dijemputlah oleh malaikat kerahmatan." (Muttafaq 'alaih)
Dalam sebuah riwayat yang shahih disebutkan demikian: "Orang tersebut lebih dekat sejauh sejengkal saja pada pedesaan yang baik itu- yakni yang hendak didatangi, maka dijadikanlah ia termasuk golongan penduduknya." Dalam riwayat lain yang shahih pula disebutkan: Allah Ta'ala lalu mewahyukan kepada tanah yang ini -tempat asalnya- supaya engkau menjauh dan kepada tanah yang ini -tempat yang hendak dituju- supaya engkau mendekat -maksudnya supaya tanah asalnya itu memanjang sehingga kalau diukur akan menjadi jauh, sedang tanah yang dituju itu menyusut sehingga kalau diukur menjadi dekat jaraknya. Kemudian firmanNya: "Ukurlah antara keduanya." Malaikat-malaikat itu mendapatkannya bahwa kepada yang ini -yang dituju- adalah lebih dekat sejauh sejengkal saja jaraknya. Maka orang itupun diampunilah dosa-dosanya." Dalam riwayat lain lagi disebutkan: "Orang tersebut bergerak -amat susah payah karena hendak mati- dengan dadanya ke arah tempat yang dituju itu."
Keterangan:
Uraian hadits ini menjelaskan perihal lebih utamanya berilmu pengetahuan dalam seluk-beluk agama, apabila dibandingkan dengan terus beribadah tanpa mengetahui bagaimana yang semestinya dilakukan. Juga menjelaskan perihal keutamaan 'uzlah atau mengasingkan diri di saat keadaan zaman sudah bisa dikatakan rusak binasa dan kemaksiatan serta kemungkaran merajalela di mana-mana.
21. Dari Abdullah bin Ka'ab bin Malik dan ia -yakni Abdullah- adalah pembimbing Ka'ab r.a. dari golongan anak-anaknya ketika Ka'ab -yakni ayahnya itu- sudah buta matanya, katanya: "Saya mendengar Ka'ab bin Malik r.a. menceritakan perihal peristiwanya sendiri ketika membelakang -artinya tidak mengikuti- Rasulullah s.a.w. dalam peperangan Tabuk." Ka'ab berkata: "Saya tidak pernah membelakang -tidak mengikuti- Rasulullah s.a.w. dalam suatu peperanganpun kecuali dalam peperangan Tabuk. Hanya saja saya juga pernah tidak mengikuti dalam peperangan Badar, tetapi beliau s.a.w. tidak mengolok-olokkan seorangpun yang tidak mengikutinya itu - yakni Badar. Sesungguhnya Rasulullah s.a.w. keluar bersama kaum Muslimin menghendaki kafilahnya kaum Quraisy, sehingga Allah Ta'ala mengumpulkan antara mereka itu dengan musuhnya dalam waktu yang tidak ditentukan. Saya juga ikut menyaksikan bersama Rasulullah s.a.w. di malam 'aqabah di waktu kita berjanji saling memperkokohkan Islam dan saya tidak senang andaikata tidak mengikuti malam 'aqabah itu sekalipun umpamanya saya ikut menyaksikan peperangan Badar dan sekalipun pula bahwa peperangan Badar itu lebih termasyhur sebutannya di kalangan para manusia daripada malam 'aqabah tadi. Perihal keadaanku ketika saya tidak mengikuti Rasulullah s.a.w. dalam peperangan Tabuk ialah bahwa saya sama-sekali tidak lebih kuat dan tidak pula lebih ringan dalam perasaanku sewaktu saya tidak mengikuti peperangan tersebut. Demi Allah saya belum pernah mengumpulkan dua buah kendaraan sebelum adanya peperangan Tabuk itu, sedang untuk peperangan ini saya dapat mengumpulkan keduanya. Tidak pula Rasulullah s.a.w. itu menghendaki suatu peperangan, melainkan tentu beliau berniat pula dengan peperangan yang berikutnya sehingga sampai terjadinya peperangan Tabuk. Rasulullah s.a.w. berangkat dalam peperangan Tabuk itu dalam keadaan panas yang sangat dan menghadapi suatu perjalanan yang jauh lagi harus menempuh daerah yang sukar memperoleh air dan tentulah pula akan menghadapi musuh yang jumlahnya amat besar sekali. Beliau s.a.w. kemudian menguraikan maksudnya itu kepada seluruh kaum Muslimin dan menjelaskan persoalan mereka, supaya mereka dapat bersiap untuk menyediakan perbekalan peperangan mereka. Beliau s.a.w. memberitahukan pada mereka dengan tujuan yang dikehendaki. Kaum Muslimin yang menyertai Rasulullah s.a.w. itu banyak sekali, tetapi mereka itu tidak terdaftarkan dalam sebuah buku yang terpelihara." Yang dimaksud oleh Ka'ab ialah adanya buku catatan yang berisi daftar mereka itu. Ka'ab berkata: "Maka sedikit sekali orang yang ingin untuk tidak menyertai peperangan tadi, melainkan ia juga menyangka bahwa dirinya akan tersamarkan, selama tidak ada wahyu yang turun dari Allah Ta'ala -maksudnya karena banyaknya orang yang mengikuti, maka orang yang berniat tidak mengikuti tentu tidak akan diketahui oleh siapapun sebab catatannyapun tidak ada-. Rasulullah s.a.w. berangkat dalam peperangan Tabuk itu di kala buah-buahan sedang enak-enaknya dan naungan-naungan di bawahnya sedang nyaman-nyamannya. Saya amat senang sekali pada buah-buahan serta naungan itu. Rasulullah s.a.w. bersiap-siap dan sekalian kaum Muslimin juga demikian. Saya mulai pergi untuk ikut bersiap-siap pula dengan beliau, tetapi saya lalu mundur lagi dan tidak ada sesuatu urusanpun yang saya selesaikan, hanya dalam hati saya berkata bahwa saya dapat sewaktu-waktu berangkat jikalau saya menginginkan. Hal yang sedemikian itu selalu saja mengulur-ulurkan waktu persiapanku, sehingga orang-orang giat sekali untuk mengadakan perbekalan mereka, sedangkan saya sendiri belum ada persiapan sedikitpun. Kemudian saya pergi lagi lalu kembali pula dan tidak pula ada sesuatu urusan yang dapat saya selesaikan. Keadaan sedemikian ini terus-menerus menyebabkan saya mengulur-ulurkan waktu keberangkatanku, sehingga orang-orang banyak telah bergegas-gegas dan majulah mereka yang hendak mengikuti peperangan itu. Saya bermaksud akan berangkat kemudian dan selanjutnya tentu dapat menyusul mereka yang berangkat lebih dulu. Alangkah baiknya sekiranya maksud itu saya laksanakan, tetapi kiranya yang sedemikian tadi tidak ditakdirkan untuk dapat saya kerjakan. Dengan begitu maka setiap saya keluar bertemu dengan orang-orang banyak setelah berangkatnya Rasulullah s.a.w. itu, keadaan sekelilingku itu selalu menyedihkan hatiku, karena saya mengetahui bahwa diriku itu hanyalah sebagai suatu tuntunan -contoh- yang dapat dituduh melakukan kemunafikan atau hanya sebagai seorang yang dianggap beruzur oleh Allah Ta'ala karena termasuk golongan kaum yang lemah -tidak kuasa mengikuti peperangan. Rasulullah s.a.w. kiranya tidak mengingat akan diriku sehingga beliau datang di Tabuk, maka sewaktu beliau duduk di kalangan kaumnya di Tabuk, tiba-tiba bertanya: "Apa yang dilakukan oleh Ka'ab bin Malik?" Seorang dari golongan Bani Salimah menjawab: "Ya Rasulullah, ia ditahan oleh pakaian indahnya dan oleh keadaan sekelilingnya yang permai pandangannya." Kemudian Mu'az bin Jabal r.a. berkata: "Buruk sekali yang kau katakan itu. Demi Allah ya Rasulullah, kita tidak pernah melihat keadaan Ka'ab itu kecuali yang baik-baik saja." Rasulullah s.a.w. berdiam diri. Ketika beliau s.a.w. dalam keadaan seperti itu lalu melihat ada seorang yang mengenakan pakaian serba putih yang digerak-gerakkan oleh fatamorgana -sesuatu yang tampak semacam air dalam keadaan yang panas terik di padang pasir- Rasulullah s.a.w. bersabda: "Engkaukah Abu Khaitsamah?" Memang orang itu adalah Abu Khaitsamah al-Anshari dan ia adalah yang pernah bersedekah dengan sesha' kurma ketika dicaci oleh kaum munafikin. Ka'ab berkata selanjutnya: "Setelah ada berita yang sampai di telingaku bahwa Rasulullah s.a.w. telah menuju -pulang- kembali dengan kafilahnya dari Tabuk, maka datanglah kesedihanku lalu saya mulai mengingat-ingat bagaimana sekiranya saya berdusta -untuk mengada-adakan alasan tidak mengikuti peperangan. Saya berkata pada diriku, bagaimana caranya supaya dapat keluar -terhindar- dari kemurkaannya besok sekiranya beliau telah tiba. Sayapun meminta bantuan untuk menemukan jalan keluar dari kesulitan ini dengan setiap orang yang banyak mempunyai pendapat dari golongan keluargaku. Setelah diberitahukan bahwa Rasulullah s.a.w. telah tiba maka lenyaplah kebathilan dari jiwaku -yakni keinginan akan berdusta itu- sehingga saya mengetahui bahwa saya tidak dapat menyelamatkan diriku dari kemurkaannya itu dengan sesuatu apapun untuk selama-lamanya. Oleh sebab itu saya menyatukan pendapat hendak mengatakan secara sebenarnya belaka. Rasulullah s.a.w. itu apabila datang dari perjalanan, tentu memulai dengan memasuki masjid, kemudian bershalat dua rakaat, kemudian duduk di hadapan orang banyak. Setelah beliau melakukan yang sedemikian itu, maka datanglah padanya orang-orang yang membelakang -tidak mengikuti peperangan- untuk mengemukakan alasan mereka dan mereka pun bersumpah dalam mengemukakan alasan-alasannya itu. Jumlah yang tidak mengikuti itu ada delapan puluh lebih -tiga sampai sembilan. Beliau s.a.w. menerima alasan-alasan yang mereka kemukakan secara terus terang itu, juga membai'at -meminta janji setia- mereka serta memohonkan pengampunan untuk mereka pula, sedang apa yang tersimpan dalam hati mereka bulat-bulat diserahkan kepada Allah Ta'ala. Demikianlah sehingga sayapun datanglah menghadap beliau s.a.w. itu. Setelah saya mengucapkan salam padanya, beliau tersenyum bagaikan senyumnya orang yang murka, kemudian bersabda: "Kemarilah!" Saya mendatanginya sambil berjalan sehingga saya duduk di hadapannya, kemudian beliau s.a.w. bertanya padaku: "Apakah yang menyebabkan engkau tertinggal, bukankah engkau telah membeli unta untuk kendaraanmu?" Ka'ab berkata: "Saya lalu menjawab: Ya Rasulullah, sesungguhnya saya, demi Allah, andaikata saya duduk di sisi selain Tuan dari golongan ahli dunia, sesungguhnya saya berpendapat bahwa saya akan dapat keluar dari kemurkaannya dengan mengemukakan suatu alasan. Sebenarnya saya telah dikaruniai kepandaian dalam bercakap-cakap. Tetapi saya ini, demi Allah, pasti dapat mengerti bahwa andaikata saya memberitahukan kepada Tuan dengan suatu cerita bohong pada hari ini yang Tuan akan merasa rela dengan ucapanku itu, namun sesungguhnya Allah hampir-hampir akan memurkai Tuan karena perbuatanku itu. Sebaliknya jikalau saya memberitahukan kepada Tuan dengan cerita yang sebenarnya yang dengan demikian itu Tuan akan murka atas diriku dalam hal ini, sesungguhnya saya hanyalah menginginkan keakhiran yang baik dari Allah 'Azzawajalla. Demi Allah, saya tidak beruzur sedikitpun -sehingga tidak mengikuti peperangan itu. Demi Allah, sama sekali saya belum merasakan bahwa saya lebih kuat dan lebih ringan untuk mengikutinya itu, yakni di waktu saya membelakang daripada Tuan -sehingga jadi tidak ikut berangkat." Ka'ab berkata: "Rasulullah s.a.w. lalu bersabda: Tentang orang ini, maka pembicaraannya memang benar -tidak berdusta. Oleh sebab itu bolehlah engkau berdiri sehingga Allah akan memberikan keputusannya tentang dirimu." Ada beberapa orang dari golongan Bani Salimah yang berjalan mengikuti jejakku, mereka berkata: "Demi Allah, kita tidak menganggap bahwa engkau telah pernah bersalah dengan melakukan sesuatu dosapun sebelum saat ini. Engkau agaknya tidak kuasa, mengapa engkau tidak mengemukakan keuzuranmu saja kepada Rasulullah s.a.w. sebagaimana keuzuran yang dikemukakan oleh orang-orang yang tertinggal yang lain-lain. Sebenarnya bukankah telah mencukupi untuk menghilangkan dosamu itu jikalau Rasulullah s.a.w. suka memohonkan pengampunan kepada Allah untukmu. Ka'ab berkata: "Demi Allah, tidak henti-hentinya orang-orang itu mengolok-olokkan diriku -karena menggunakan cara yang dilakukan sebagaimana di atas yang telah terjadi itu- sehingga saya sekali hendak kembali saja kepada Rasulullah s.a.w.- untuk mengikuti cara orang-orang Bani Salimah itu, agar saya mendustakan diriku sendiri. Kemudian saya berkata kepada orang-orang itu: "Apakah ada orang lain yang menemui peristiwa sebagaimana hal yang saya temui itu?" Orang-orang itu menjawab: "Ya, ada dua orang yang menemui keadaan seperti itu. Keduanya berkata sebagaimana yang engkau katakan lalu terhadap keduanya itupun diucapkan -oleh Rasulullah s.a.w.- sebagaimana kata-kata yang diucapkan padamu." Ka'ab berkata: "Siapakah kedua orang itu?" Orang-orang menjawab: "Mereka itu ialah Murarah bin Rabi'ah al-'Amiri dan Hilal bin Umayyah al-Waqifi." Ka'ab berkata: "Orang-orang itu menyebut-nyebutkan di mukaku bahwa kedua orang itu adalah orang-orang shahih dan juga benar-benar ikut menyaksikan peperangan Badar dan keduanya dapat dijadikan sebagai contoh -dalam keberanian dan lain-lain." Ka'ab berkata: "Saya pun lalu terus pergi di kala mereka telah selesai menyebut-nyebutkan tentang kedua orang tersebut di atas di mukaku. Rasulullah s.a.w. melarang kita -kaum Muslimin- untuk bercakap-cakap dengan ketiga orang di antara orang-orang yang sama membelakang -tidak mengikuti perjalanan- beliau itu." Ka'ab berkata: "Orang-orang sama menjauhi kita," dalam riwayat lain ia berkata: "Orang-orang sama berubah sikap terhadap kita bertiga, sehingga dalam jiwaku seolah-olah bumi ini tidak mengenal lagi akan diriku, maka seolah-olah bumi ini adalah bukan bumi yang saya kenal sebelumnya. Kita bertiga berhal -berkeadaan- demikian itu selama lima puluh malam -dengan harinya. Adapun dua kawan saya, maka keduanya itu menetap saja dan selalu duduk-duduk di rumahnya sambil menangis. Tentang saya sendiri, maka saya adalah yang termuda di kalangan kita bertiga dan lebih tahan -mendapatkan ujian. Oleh sebab itu sayapun keluar serta menyaksikan shalat jamaah bersama kaum Muslimin lain-lain dan juga suka berkeliling di pasar-pasar, tetapi tidak seorangpun yang mengajak bicara padaku. Saya pernah mendatangi Rasulullah s.a.w. dan mengucapkan salam padanya dan beliau ada di majlisnya sehabis shalat, kemudian saya berkata dalam hatiku, apakah beliau menggerakkan kedua bibirnya untuk menjawab salamku itu ataukah tidak. Selanjutnya saya bershalat dekat sekali pada tempatnya itu dan saya mengamat-amatinya dengan pandanganku. Jikalau saya mulai mengerjakan shalat, beliau melihat padaku, tetapi jikalau saya menoleh padanya, beliaupun lalu memalingkan mukanya dari pandanganku. Demikian halnya, sehingga setelah terasa amat lama sekali penyeteruan kaum Muslimin itu terhadap diriku, lalu saya berjalan sehingga saya menaiki dinding muka dari rumah Abu Qatadah. Ia adalah anak pamanku -jadi sepupunya- dan ia adalah orang yang tercinta bagiku di antara semua orang. Saya memberikan salam padanya, tetapi demi Allah, ia tidak menjawab salamku itu. Kemudian saya berkata kepadanya: "Hai Abu Qatadah, saya hendak bertanya padamu karena Allah, apakah engkau mengetahui bahwa saya ini mencintai Allah dan RasulNya s.a.w.?" Ia diam saja, lalu saya ulangi lagi dan bertanya sekali iagi padanya, iapun masih diam saja. Akhirnya saya ulangi lagi dan saya menanyakannya sekali lagi, lalu ia berkata: "Allah dan RasulNya yang lebih mengetahui tentang itu." Oleh sebab jawabnya ini, maka mengalirlah air mataku dan saya meninggalkannya sehingga saya menaiki dinding rumah tadi. Di kala saya berjalan di pasar kota, tiba-tiba ada seorang petani dari golongan petani negeri Syam (Palestina), yaitu dari golongan orang-orang yang datang dengan membawa makanan yang hendak dijualnya di Madinah, lalu orang itu berkata: "Siapakah yang suka menunjukkan, manakah yang bernama Ka'ab bin Malik." Orang-orang lain sama menunjukkannya kearahku, sehingga orang itupun mendatangi tempatku, kemudian menyerahkan sepucuk surat dari raja Ghassan -yang beragama Kristen. Saya memang orang yang dapat menulis, maka surat itupun saya baca, tiba-tiba isinya adalah sebagai berikut: "Amma ba'd. Sebenarnya telah sampai berita pada kami bahwa sahabatmu -yakni Muhammad s.a.w.- telah menyeterumu. Allah tidaklah menjadikan engkau untuk menjadi orang hina di dunia ataupun orang yang dihilangkan hak-haknya. Maka dari itu susullah kami -maksudnya datanglah di tempat kami- maka kami akan menggembirakan hatimu." Kemudian saya berkata setelah selesai membacanya itu: "Ah, inipun juga termasuk bencana pula," lalu saya menuju ke dapur dengan membawa surat tadi kemudian saya membakarnya. Selanjutnya setelah lepas waktu selama empat puluh hari dari jumlah lima puluh hari, sedang waktu agak terlambat datangnya tiba-tiba datanglah di tempatku seorang utusan dari Rasulullah s.a.w., terus berkata: "Sesungguhnya Rasulullah s.a.w. memerintahkan padamu supaya engkau menyendirikan -menjauhi- isterimu." Saya bertanya: "Apakah saya harus menceraikannya atau apakah yang harus saya lakukan?" Ia berkata: "Tidak usah menceraikan, tetapi menyendirilah daripadanya, jadi jangan sekali-kali engkau mendekatinya." Rasulullah s.a.w. juga mengirimkan utusan kepada kedua sahabat saya -yang senasib di atas- sebagaimana yang dikirimkannya padaku. Oleh sebab itu lalu saya berkata pada isteriku: "Susullah dulu keluargamu -maksudnya pergilah ke tempat kedua orang tuamu. Beradalah di sisi mereka sehingga Allah akan menentukan bagaimana kelanjutan peristiwa ini." Isteri Hilal bin Umayyah mendatangi Rasulullah s.a.w., lalu berkata pada beliau: "Ya Rasulullah, sesungguhnya Hilal bin Umayyah itu seorang yang amat tua dan hanya sebatang kara, tidak mempunyai pelayan juga. Apakah Tuan juga tidak senang andaikata saya tetap melayaninya?" Beliau s.a.w. menjawab: "Tidak, tetapi jangan sekali-kali ia mendekatimu -jangan berkumpul seketiduran denganmu." Isterinya berkata lagi: "Sesungguhnya Hilal itu demi Allah, sudah tidak mempunyai gerak sama sekali pada sesuatupun dan demi Allah, ia senantiasa menangis sejak terjadinya peristiwa itu sampai pada hari ini." Sebagian keluargaku berkata padaku: "Alangkah baiknya sekiranya engkau meminta izin kepada Rasulullah s.a.w. dalam persoalan isterimu itu. Rasulullah s.a.w. juga telah mengizinkan kepada isteri Hilal bin Umayyah untuk tetap melayaninya." Saya berkata: "Saya tidak akan meminta izin untuk isteriku itu kepada Rasulullah s.a.w., saya pun tidak tahu bagaimana nanti yang akan diucapkan oleh Rasulullah s.a.w. sekiranya saya meminta izin pada beliau perihal isteriku itu -yakni supaya boleh tetap melayani diriku? Saya adalah seorang yang masih muda." Saya tetap berkeadaan sebagaimana di atas itu -tanpa isteri- selama sepuluh malam dengan harinya sekali maka telah genaplah jumlahnya menjadi lima puluh hari sejak kaum Muslimin dilarang bercakap-cakap dengan kita. Selanjutnya saya bershalat Subuh pada pagi hari kelima puluh itu di muka rumah dari salah satu rumah keluarga kami. Kemudian di kala saya sedang duduk dalam keadaan yang disebutkan oleh Allah Ta'ala perihal diri kita itu -yakni ketika kami bertiga sedang dikucilkan, jiwaku terasa amat sempit sedang bumi yang luas terasa amat kecil, tiba-tiba saya mendengar suara teriakan seorang yang berada di atas gunung Sala'- sebuah gunung di Madinah, ia berkata dengan suaranya yang amat keras: "Hai Ka'ab bin Malik, bergembiralah." Segera setelah mendengar itu, sayapun bersujud -syukur- dan saya meyakinkan bahwa telah ada kelapangan yang datang untukku. Rasulullah s.a.w. telah memberitahukan pada orang-orang banyak bahwa taubat kita bertiga telah diterima oleh Allah 'Azzawajalla, yaitu di waktu beliau bershalat Subuh. Maka orang-orangpun menyampaikan berita gembira itu pada kita dan ada pula pembawa-pembawa kegembiraan itu yang mendatangi kedua sahabatku -yang senasib. Ada seorang yang dengan cepat-cepat melarikan kudanya serta bergegas-gegas menuju ke tempatku dari golongan Aslam - namanya Hamzah bin Umar al-Aslami. Ia menaiki gunung dan suaranya itu kiranya lebih cepat terdengar olehku daripada datangnya kuda itu sendiri. Setelah dia datang padaku yakni orang yang kudengar suaranya tadi, iapun memberikan berita gembira padaku, kemudian saya melepaskan kedua bajuku dan saya berikan kepadanya untuk dipakai, sebagai hadiah dari berita gembira yang disampaikannya itu. Demi Allah, saya tidak mempunyai pakaian selain keduanya tadi pada hari itu. Maka sayapun meminjam dua buah baju -dari orang lain- dan saya kenakan lalu berangkat menuju ke tempat Rasulullah s.a.w. Orang-orang sama menyambut kedatanganku itu sekelompok demi sekelompok menyatakan ikut gembira padaku sebab taubatku yang telah diterima. Mereka berkata: "Semoga gembiralah hatimu karena Allah telah menerima taubatmu itu." Demikian akhirnya saya memasuki masjid, di situ Rasulullah s.a.w. sedang duduk dan di sekelilingnya ada beberapa orang. Thalhah bin Ubaidullah r.a. lalu berdiri cepat-cepat kemudian menjabat tanganku dan menyatakan ikut gembira atas diriku. Demi Allah tidak ada seorangpun dari golongan kaum Muhajirin yang berdiri selain Thalhah itu. Oleh sebab itu Ka'ab tidak akan melupakan peristiwa itu untuk Thalhah. Ka'ab berkata: "Ketika saya mengucapkan salam kepada Rasulullah s.a.w. beliau tampak berseri-seri wajahnya karena gembiranya lalu bersabda: "Bergembiralah dengan datangnya suatu hari baik yang pernah engkau alami sejak engkau dilahirkan oleh ibumu." Saya bertanya: "Apakah itu datangnya dari sisi Tuan sendiri ya Rasulullah, ataukah dari sisi Allah?" Beliau s.a.w. menjawab: "Tidak dari aku sendiri, tetapi memang dari Allah 'Azzawajalla". Rasulullah s.a.w. itu apabila gembira hatinya, maka wajahnya pun bersinar indah, seolah-olah wajahnya itu adalah sepenuh bulan, kita semua mengetahui hal itu. Setelah saya duduk di hadapannya, saya lalu berkata: "Ya Rasulullah, sesungguhnya untuk menyatakan taubatku itu ialah saya hendak melepaskan sebagian hartaku sebagai sedekah kepada Allah dan RasulNya." Rasulullah s.a.w. bersabda: "Tahanlah untukmu sendiri sebagian dari harta-hartamu itu, sebab yang sedemikian itu adalah lebih baik." Saya menjawab: "Sebenarnya saya telah menahan bagianku yang ada di tanah Khaibar." Selanjutnya saya meneruskan: "Ya Rasulullah, sesungguhnya Allah telah menyelamatkan diriku dengan jalan berkata benar, maka sebagai tanda taubatku pula ialah bahwa saya tidak akan berkata kecuali yang sebenarnya saja selama kehidupanku yang masih tertinggal." Demi Allah, belum pernah saya melihat seorangpun dari kalangan kaum Muslimin yang diberi cobaan oleh Allah Ta'ala dengan sebab kebenaran kata-kata yang diucapkan, sejak saya menyebutkan hal itu kepada Rasulullah s.a.w. yang jadinya lebih baik dari yang telah dicobakan oleh Allah Ta'ala pada diriku sendiri. Demi Allah, saya tidak bermaksud akan berdusta sedikitpun sejak saya mengatakan itu kepada Rasulullah s.a.w. sampai pada hariku ini dan sesungguhnya sayapun mengharapkan agar Allah Ta'ala senantiasa melindungi diriku dari kedustaan itu dalam kehidupan yang masih tertinggal untukku." Ka'ab berkata; "Kemudian Allah Ta'ala menurunkan wahyu yang artinya: "Sesungguhnya Allah telah menerima taubatnya Nabi, kaum Muhajirin dan Anshar yang mengikutinya -ikut berperang- dalam masa kesulitan -sampai di firmanNya yang artinya [6]; Sesungguhnya Allah itu adalah Maha Penyantun lagi Penyayang kepada mereka. Juga Allah telah menerima taubat tiga orang yang ditinggalkan di belakang, sehingga terasa sempitlah bagi mereka bumi yang terbentang luas ini -sampai di firmanNya yang artinya- Bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah engkau semua bersama orang-orang yang benar." (at- Taubah: 117-119) Ka'ab berkata: "Demi Allah, belum pernah Allah mengaruniakan kenikmatan padaku sama sekali setelah saya memperoleh petunjuk dari Allah untuk memeluk Agama Islam ini, yang kenikmatan itu lebih besar dalam perasaan jiwaku, melebihi perkataan benarku yang saya sampaikan kepada Rasulullah s.a.w., sebab saya tidak mendustainya, sehingga andaikata demikian tentulah saya akan rusak sebagaimana kerusakan yang dialami oleh orang-orang yang berdusta -maksudnya ialah kerusakan agama bagi dirinya, akhlak dan lain-lain. Sesungguhnya Allah Ta'ala telah berfirman kepada orang-orang yang berdusta ketika diturunkannya wahyu, yaitu suatu kata-kata terburuk yang pernah diucapkan kepada seorang. Allah Ta'ala berfirman yang artinya: "Mereka akan bersumpah kepadamu dengan nama Allah, ketika engkau kembali kepada mereka, supaya engkau dapat membiarkan mereka. Sebab itu berpalinglah dari mereka itu, sesungguhnya mereka itu kotor dan tempatnya adalah neraka Jahanam, sebagai pembalasan dari apa yang mereka lakukan. Mereka bersumpah kepadamu supaya engkau merasa senang kepada mereka, tetapi biarpun engkau merasa senang kepada mereka, namun Allah tidak senang kepada kaum yang fasik itu." (at- Taubah: 95-96) Ka'ab berkata: "Kita semua bertiga ditinggalkan, sehingga tidak termasuk dalam urusan golongan orang-orang yang diterima oleh Rasulullah s.a.w. perihal alasan-alasan mereka itu, yaitu ketika mereka juga bersumpah padanya, lalu memberikan janji-janji kepada mereka supaya setia dan memohonkan pengampunan untuk mereka pula. Rasulullah s.a.w. telah mengakhirkan urusan kita bertiga itu sehingga Allah memberikan keputusan dalam peristiwa tersebut." Allah Ta'ala berfirman: "Dan juga kepada tiga orang yang ditinggalkan." Bukannya yang disebutkan di situ yaitu dengan firmanNya "Tiga orang yang ditinggalkan dimaksudkan kita membelakang dari peperangan, tetapi Rasulullah s.a.w. yang meninggalkan kita bertiga tadi dan menunda urusan kita, dengan tujuan untuk memisahkan dari orang-orang yang bersumpah dan mengemukakan alasan-alasan padanya, kemudian menyampaikan masing-masing keuzurannya dan selanjutnya beliau s.a.w., menerima alasan-alasan mereka tersebut." (Muttafaq 'alaih)
Dalam sebuah riwayat disebutkan: "Bahwasanya Rasulullah s.a.w. keluar untuk berangkat ke peperangan Tabuk pada hari Kamis dan memang beliau s.a.w. suka sekali kalau keluar pada hari Kamis itu." Dalam riwayat lain disebutkan pula: "Beliau s.a.w. tidak datang dari sesuatu perjalanan melainkan di waktu siang di dalam saat dhuha dan jikalau beliau s.a.w. telah datang, maka lebih dulu masuk ke dalam masjid, kemudian bershalat dua rakaat lalu duduk di dalamnya."
Keterangan:
Secara jelasnya makna Khullifuu dalam ayat di atas itu ialah: ditangguhkannya tiga orang itu perihal dimaafkannya dan ditundanya untuk diterima taubatnya sehingga limapuluh hari limapuluh malam lamanya. Jadi Khullifuu bukan bermaksud ditinggalkannya orang tiga di atas oleh Rasulullah s.a.w. dan sahabat-sahabatnya ketika tidak mengikuti perang Tabuk. Oleh sebab itu orang lain yang tidak mengikuti perang Tabuk dan berani bersumpah serta mengemukakan alasan-alasan yang beraneka macamnya, lalu dimaafkan oleh Nabi s.a.w. dan tidak ikut dikucilkan, tidak dapat dimasukkan dalam golongan "Tiga orang yang ditinggalkan" tersebut. Jadi diterima atau tidaknya alasan yang mereka kemukakan itu belum dapat dipastikan kebenarannya, sebab yang Maha Mengetahui hanyalah Allah Ta'ala sendiri. Jelasnya kalau benar alasannya, tentulah dimaafkan oleh Allah, sedang kalau tidak, tentu saja ada siksanya bagi orang yang berdusta itu, apabila Allah tidak mengampuninya. Adapun tiga orang di atas sudah pasti dimaafkan dan juga telah diterima taubatnya.
22. Dari Abu Nujaid (dengan dhammahnya nun dan fathahnya jim) yaitu Imran bin Hushain al-Khuza'i radhiallahu 'anhuma bahwasanya ada seorang wanita dari suku Juhainah mendatangi Rasulullah s.a.w. dan ia sedang dalam keadaan hamil karena perbuatan zina. Kemudian ia berkata: "Ya Rasulullah, saya telah melakukan sesuatu perbuatan yang harus dikenakan had -hukuman- maka tegakkanlah had itu atas diriku." Nabiyullah s.a.w. lalu memanggil wali wanita itu lalu bersabda: "Berbuat baiklah kepada wanita ini dan apabila telah melahirkan -kandungannya, maka datanglah padaku dengan membawanya." Wali tersebut melakukan apa yang diperintahkan. Setelah bayinya lahir -lalu beliau s.a.w. memerintahkan untuk memberi hukuman, wanita itu diikatlah pada pakaiannya, kemudian dirajamlah. Selanjutnya beliau s.a.w. menyembahyangi jenazahnya. Umar berkata pada beliau: "Apakah Tuan menyembahyangi jenazahnya, ya Rasulullah, sedangkan ia telah berzina?" Beliau s.a.w. bersabda: "Ia telah bertaubat benar-benar, andaikata taubatnya itu dibagikan kepada tujuhpuluh orang dari penduduk Madinah, pasti masih mencukupi. Adakah pernah engkau menemukan seorang yang lebih utama dari orang yang suka mendermakan jiwanya semata-mata karena mencari keridhaan Allah 'Azzawajalla." (Riwayat Muslim)
23. Dari Ibnu Abbas dan Anas bin Malik radhiallahu 'anhum bahwasanya Rasulullah s.a.w. bersabda: "Andaikata seorang anak Adam -yakni manusia- itu memiliki selembah emas, ia tentu menginginkan memiliki dua lembah -emas lagi- dan sama sekali tidak akan memenuhi mulutnya kecuali tanah -yaitu setelah mati- dan Allah menerima taubat kepada orang yang bertaubat." (Muttafaq 'alaih)
24. Dan dari Abu Hurairah r.a. bahwasanya Rasulullah s.a.w. bersabda: "Allah Subhanahu wa Ta'ala tertawa -merasa senang- kepada dua orang yang seorang membunuh pada lainnya, kemudian keduanya dapat memasuki syurga. Yang seorang itu berperang fisabilillah kemudian ia dibunuh, selanjutnya Allah menerima taubat atas orang yang membunuhnya tadi, kemudian ia masuk Islam dan selanjutnya dibunuh pula sebagai seorang syahid." (Muttafaq 'alaih)
Catatan Kaki:
[6] Lengkapnya ayat-ayat 117, 118 dan 119 dari surat at-Taubah itu artinya adalah sebagai berikut: 117. Sesungguhnya Allah telah menerima taubat Nabi, kaum Muhajirin dan kaum Anshar yang mengikuti Nabi dalam masa kesulitan. Yaitu setelah hati sebagian dari mereka hampir menyimpang, kemudian Allah menerima taubat mereka. Sesungguhnya Allah itu Maha Pengasih Lagi Penyayang kepada mereka. 118. Allah juga menerima taubatnya tiga orang yang ditinggalkan di belakang sehingga bumi yang luas terbentang ini terasa sempit oleh mereka dan mereka rasakan nafas mereka menjadi sesak. Mereka mengetahui bahwa tidak ada tempat berlindung dari siksa Allah melainkan kepada Allah. Kemudian Allah menerima taubat mereka supaya mereka kembali - ke jalan yang benar -. Sesungguhnya Allah adalah Maha Penerima taubat lagi Penyayang. 119. Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah kamu semua itu bersama-sama orang-orang yang benar - kata-kata serta perbuatannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar